BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Dalam era globalisasi dan pasar bebas manusia dihadapkan pada perubahan-perubahan yang tidak menentu. Ibarat nelayan "di laut lepas" yang dapat menyesatkan jika tidak memiliki konsep sebagai pedoman untuk bertindak dan untuk mengarunginya (E.Mulyasa, 2002: 4).
Gejala fenomenal di balik globalisasi itu direspon secara beragam oleh banyak orang, terutama oleh mereka yang telah menjadi masyarakat pembelajar. Ada orang yang tidak lebih hanya melafalkannya. Ada yang memang siap menghadapinya secara intelektual, ekonomi dan sosial. Sebagian lagi berfikir realistis dengan menjalani kehidupan ini secara bersahaja dan membangun persepsi bahwa hadirnya milenium ketiga adalah sebuah rentang perjalanan waktu secara normal yang tidak lebih dari hukum alam, laksana adanya kelahiran dan kematian (Sudarwan Danim, 2003:1).
Arus globalisasi semakin menunjukkan kekekarannya untuk memimpin dunia. Semua ide-ide yang bersifat bebas tak terbatas sudah melingkupi masyarakat dunia. Setiap tindakan selalu dinilai dengan uang, jabatan dan kesenganan. Pelanggaran HAM sudah tidak terhitung lagi banyaknya akibat ulah manusia. Begitu juga dengan kapitalisasi, praktek mencari keuntungan sendiri sekarang sudah bukan sesuatu yang rahasia lagi, bahkan hal ini terkesan malah dilindungi.
Masalah dekadensi moral telah dirasakan sangat mengglobal seiring dengan tata nilai yang sifatnya mendunia. Dibelahan bumi manapun kerap kali dapat disaksikan berbagai gaya hidup yang bertentangan dengan etika dan nilai agama. Berbagai pendekatan telah dan sedang dilakukan untuk menyelamatkan peradaban manusia dari rendahnya perilaku moral. Pentingnya pendidikan akhlaq bukan dirasakan oleh masyarakat yang mayoritas penduduknya beragama Islam saja, tapi kini sudah mulai diterapkan berbagai negara. Di Jerman misalnya, pelajaran agama Islam juga masuk pada kurikulum sekolah mereka (Muhaimin, 2005:21).
Masalah-masalah dekadensi moral dapat kita lihat seperti; 1) kebebasan seks yang menimpa sebagaian besar negara-negara didunia didukung, dihidupkan dan dipromosikan oleh media-media massa barat. Barat mensosialisasikan kebebasan seks ini melalui seminar-seminar yang mengizinkan praktik prostitusi, aborsi dan sodomi dengan argumen yang sangat rapuh, yaitu mengatasi pertumbuhan penduduk, 2) beredarnya obat-obat terlarang dengan berbagai jenisnya, perluasan dan tempat pemasarannya, dan peningkatan teknik produksi dan promosinya, 3) meluasnya kriminalitas dengan berbagai ragamnya, baik yang bersifat pribadi maupun sosial, bahkan tingkat dunia, 4) merajalelanya penculikan anak-anak, wanita dan orang dewasa, serta pembajakan pesawat atau kapal laut, 5) adanya undang-undang yang dirumuskan oleh badan-badan dunia yang memihak negara-negara kuat untuk menguasai negara-negara lemah (Ali Abdul Halim, 2003:43). Selain dekadensi moral, juga terjadi dekadensi akidah seperti maraknya perdukunan yang menyeret seseorang kepada kesyirikan, karenanya haruslah diluruskan dengan melalui pendidikan agama yang benar dalam hal ini adalah pendidikan Aqidah dan Akhlaq.
Sebenarnya bangsa ini telah banyak melahirkan anak-anak bangsa yang berstatus Sarjana bahkan Doktor dan Profesor. Akan tetapi yang bermental sehat hanya seribu satu dari jutaan penduduk bangsa ini. Kepandaian yang mereka miliki hanya sebatas pengetahuan dan pencapaian target nilai, sedangkan dalam hal aplikasi, masih dipertanyakan. Padahal menurut Mulyasa ada 4 kondisi belajar yang harus dikembangkan yaitu Iearning to Know, Learning to Do, Learning Live Together dan Learning to Be (Mulyasa, 2002:5).
Terjadi keadaan yang paradoks antara prestasi individual dan kualitas institusional. Mengapa ketika di negara lain orang Indonesia mampu berprestasi baik, sementara di negeri sendiri tidak. Untuk itulah sudah saatnya kita bangkit menyelamatkan anak negeri ini dengan pendidikan yang positif, aplikatif dan normatif. Merubah paradigma bahwa pendidikan itu adalah dengan 3D (Duduk, Diam, Dengar), yang sangat membodohi anak. Hal ini seperti diakui oleh studi Blazely dkk (1997), bahwa pembelajaran disekolah cenderung sangat teoritik dan tidak terkait dengan lingkungan dimana anak berada, yang mengakibatkan anak tidak mampu menerapkan apa yang dipelajarinya disekolah guna memecahkan masalah kehidupan yang dihadapinya dalam kehidupan keseharian (Muhaimin, 2003:148).
Selama ini pelaksanaan pendidikan agama yang berlangsung disekolah masih banyak mengalami kelemahan. Muhtar Bukhori (dalam Muhaimin, 2005:23) menilai pendidikan agama masih gagal. Mengutip pendapatnya Nasution, Muhaimin mengatakan kegagalan ini disebabkan karena praktik pendidikannya hanya memperhatikan aspek koqnitif semata dari pada pertumbuhan kesadaran nilai-nilai (agama), dan mengabaikan pembinaan aspek afektif dan konatif-volutif, yakni kemauan dan tekad untuk mengamalkan nilai-nilai ajaran agama. Akibatnya terjadi kesenjangan antara pengetahuan dan pengalaman, antara gnosis dan praksis dalam kehidupan nilai agama atau dalam praktik kehidupan agama berubah menjadi pengajaran agama, sehingga tidak mau membentuk pribadi-pribadi bermoral.
Hal tersebut tentu saja belumlah seluruhnya sesuai dengan fungsi dan tujuan pendidikan yang ada dalam UURI No 20 Th 2003 tentang sistem pendidikan nasional yang menegaskan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya peserta didik agar manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlaq mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (UU SisDikNas, 2003:5)
Muhaimin dengan mengutip Atho' Mudzor (Tempo, 24 Nov 2004), mengemukakan hasil studi LitBang agama dan diklat keagamaan th 2000, bahwa merosornya moral dan akhlaq peserta didik disebabkan antara lain akibat kurikulum pendidikan agama yang terlampau padat materi, dan materi tersebut lebih mengedepankan aspek pemikiran ketimbang membangun kesadaran keberagamaan yang utuh. Selain itu metodologi pendidikan agama yang kurang mendorong penjiwaan terhadap nilai-nilai keagamaan, serta terbatasnya bahan-bahan bacaaan keagamaan. Dalam konteks metodologi, hasil penelitian Furchan (1993) juga menunjukan bahwa penggunaan metode pembelajaran tradisional, yaitu ceramah monoton dan statis akontekstual, cenderung normatif, monolitik, lepas dari sejarah, dan semakin akademis.
Dari uraian tersebut diatas dapat dipahami bahwa berbagai kritik dan sekaligus kelemahan dari pelaksanaan pendidikan agama lebih banyak bermuara pada aspek metodologi pembelajaran PAI dan orientasinya yang bersifat normatif, teoritis, dan kognitif, termasuk didalamnya aspek gurunya yang kurang mampu mengaitkan dan berinteraksi dengan mata pelajaran dan guru non-pendidikan agama. Aspek lain yang banyak disoroti adalah menyangkut aspek muatan kurikulum atau materi pendidikan agama, sarana pendidikan agama, termasuk didalamnya buku-buku dan bahan ajar pendidikan agama (Muhaimin, 2005:26).
Pendidikan agama merupakan salah satu dari tiga subyek pelajaran yang harus dimasukkan dalam setiap lembaga pendidikan formal di Indonesia. Hal ini karena dikarenakan kehidupan beragama merupakan salah satu dimensi kehidupan yang diharapkan dapat terwujud secara terpadu dengan dimensi kehidupan lain pada setiap individu warga negara. Hanya dengan keterpaduan berbagai dimensi kehidupan tersebutlah kehidupan yang utuh, sebagaimana yang dicita-citakan oleh bangsa Indonesia, dapat terwujud. Pendidikan agama diharapkan mampu mewujudkan dimensi kehidupan beragama tersebut sehingga, bersama-sama subyek pendidikan yang lain, mampu mewujudkan kepribadian individu yang utuh, sejalan dengan pandangan hidup bangsa (Drs. Chabib Thaha, 1999: 1).
Persoalan Aqidah-Akhlaq sebetulnya lebih didasarkan pada keyakinan hati yang selanjutnya dimanifestasikan dalam bentuk sikap hidup dan amal perbuatan yang baik dalam kehidupan sehari-hari. Namun demikian, untuk mencapai keyakinan hati yang kokoh serta kemantapan dalam bersikap dan beramal sholeh diperlukan proses penalaran kritis, untuk tidak terjebak pada keyakinan yang bersifat dogmatik dan rutin (Sutiah, 2003:42).
Sebagai pembentuk nilai spiritual, efektifitas pendidikan Aqidah-Akhlaq sering dipertanyakan. Terjadinya krisis politik, sosial, ekonomi, hukum, golongan dan agama dianggab sebagai akibat lemahnya kontribusi pendidikan Aqidah-Akhlaq dalam menanamkan integritas etik pada peserta didik sejak dini. Hal ini disebabkan karena materi Aqidah-Akhlaq terfokus pada unsur pengetahuan (Koqnitif) dan minim dalam pembentukan sikap (afektif), serta pembiasaan (psikomotorik). Disamping itu juga lemahnya partisipasi guru Aqidah-Akhlaq dam mempraktekkan subtansi ajaran agama yang berpengaruh buruk pada peserta didik. Waktu yang disediakan sangat terbatas, belum lagi kelemahan metodologis, minimnya sarana-prasarana pelatihan pengembangan, serta rendahnya partisipasi orang tua siswa dalam masyarakat pada umumnya dalam proses transformasi nilai-nilai afektif tersebut.
Metode pembelajaran perlu dikembangkan karena berhubungan dengan dengan mengajar, sedangkan mengajar sendiri adalah suatu seni dalam hal ini adalah seni mengajar. Sebagai sebuah seni tentunya metode mengajar harus menimbulkan kesenangan dan kepuasan bagi siswa. Kesenangan dan kepuasan merupakan salah satu faktor yang dapat menimbulkan gairah dan semangat kepada anak didik. Oleh karena itu agar pendidikan dan pengajaran yang dipaparkan guru terhadap anak didik memperoleh respon positif, menarik perhatian dan terimplementasi dalam sikap yang positif pula (terjadi keseimbangan antara ranah koqnitif, afektif, dan psykomotorik), maka seorang guru haruslah dapat memformat pelajarannya semenarik mungkin, karena metode yang digunakan disekolah dirasakan masih sangat kurang menciptakan suasana kondusif dan menyenangkan bagi siswa untuk dapat mempelajari serta mencerna isi materi pelajaran. Hal ini menyebabkan siswa kurang termotivasi untuk mengikuti pembelajaran, karena metode mengajar yang kurang menarik.
Penguasaan terhadap metodologi pengajaran adalah merupakan salah satu persyaratan bagi seorang tenaga pendidik yang profesional. Seorang tenaga pendidik yang profesional selain harus menguasai mata pelajaran yang akan diajarkan, juga harus menguasai metodologi pembelajaran. Didalam metodologi pembelajaran ini diajarkan tentang teknik mengajar (Teaching Skill) yang efektif yang dibangun berdasarkan teori-teori pendidikan serta ilmu didaktik, metodik dan pedagogik. Selain itu tenaga pendidik yang profesional juga harus memiliki idealisme, yakni siap dan komitmen untuk menegakkan dan memperjuangkan terlaksananya nilai-nilai luhur seperti keadilan, kejujuran, kebenaran dan kemanusiaan, dan menjadikan bidang tugasnya sebagi pilihan hidup, dimana mata pencaharian dan sumber kehidupannya bertumpu pada pekerjaan itu (Abuddin Nata, 2003:33).
Disamping itu, secara umum pendidik adalah orang yang memiliki tanggung jawab untuk mendidik, sementara secara khusus, pendidik dalam perspektif pendidikan Islam adalah orang-orang yang bertanggung jawab terhadap perkembangan peserta didik dengan mengupayakan perkembangan seluruh potensi peserta didik, baik potensi afektif, kognitif, maupun psikomotorik sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam (Syamsul Nizar, 2002:1).
Seperti yang telah tersebut diatas bahwa krisis politik, sosial, ekonomi, hukum, golongan dan agama dianggab sebagai akibat lemahnya kontribusi pendidikan agama Islam dalam hal ini adalah Aqidah-Akhlaq dalam menanamkan integritas etik pada peserta didik sejak dini, karenanya perlu diterapkan metode pembelajaran yang baik dan dapat menanamkan nilai-nilai dengan suasana pembelajaran yang menyenangkan.
Seiring dengan berjalannya waktu, para ahli pendidikan telah berhasil membuat rumusan baru yang sempat menggemparkan dunia pendidikan. Bobby DePorter salah satu pakar pendidikan berhasil menciptakan cara baru dan praktis untuk mempengaruhi keadaan mental pelajar yang dilakukan oleh guru. Semua itu terangkum dalam Quantum Teaching yang berarti pengubahan bermacam-macam interaksi yang ada dalam diri siswa menjadi sesuatu yang bermanfaat baik bagi diri siswa itu sendiri maupun bagi orang lain (DePorter, dkk, 2001:5). Disinilah letak pengembangan metode pembelajaran Quantum Teaching, yaitu menggubah bermacam-macam interaksi yang ada di dalam dan di sekitar momen belajar. Karena itulah guru harus tahu apa yang ada pada siswanya. Begitu juga harus ada kerjasama yang solid antara guru dan siswa, bila guru berusaha membimbing dan mengarahkan siswanya, maka diharapkan siswa juga berusaha sekuat tenaga untuk mencapai hasil belajar. Dalam pelaksanaan Quantum Teaching lebih menekankan pada emosioanal anak, sebagaimana prinsip-prinsip yang dikembangkan dalam Quantum Teaching yaitu "Bawalah Dunia Mereka ke Dunia Kita dan Antarkan Dunia kita ke Dunia Mereka" ( DePorter, 2001:7).
Quantum Teaching menawarkan suatu sintesis dari hal-hal yang dicari, atau cara-cara baru untuk memaksimalkan dampak usah pengajaran yang dilakukan guru melalui perkembangan hubungan, penggubahan belajar, dan penyampaian kurikulum (Abuddin Nata, 2003:35). Metode pengajaran dalam bentuk Quantum Teaching tampak lebih komprehensip dibandingkan dengan berbagai metode pengajaran yang telah ada sebelumnya. Dengan kata lain bahwa dalam quantum Teaching terkandung berbagai macam-macam metode pengajaran yang diolah menjadi satu, seperti metode ceramah, tanya jawab, demonstrasi, karya wisata, penugasan, pemecahan masalah, diskusi, simulasi, eksperimen, penemuan, dan proyek atau unit. Berbagai ini satu dan saling bersinergi membentuk Quantum Teaching.
Berdasar hasil penelitian yang dilaksanakan oleh Supercamp (sebuah program pemercepatan Quantum Learning yaitu perusahaan pendidikan nasional), pemercepatan Quantum Teaching dapat meningkatkan beberapa hasil daripada proses pembelajaran sebagai berikut;
1. 68 % meningkatkan motivasi belajar siswa
2. 73 % meningkatkan prestasi belajar siswa
3. 81 % meningkatkan rasa percaya diri siswa
4. 98 % melanjutkan penggunaan ketrampilan (Bobby DePorter; 2001:4).
Sedangkan belajar itu sendiri adalah suatu proses yang kompleks yang terjadi pada diri setiap orang sepanjang hidupnya. Proses belajar itu terjadi karena adanya interaksi antara seseorang dengan lingkungannya (Azhar Arsyad, 1997:1), dan berdasarkan keyakinan orang mukmin dan penegasan Allah SWT, Islam adalah satu-satunya agama yang diridhoi Allah dan diperintahkan kepada manusia untuk memeluknya. Namun, manusia dengan segala kelemahan yang ada padanya tidak akan dapat beragama Islam dengan mudah tanpa melalui pendidikan, tanpa bantuan pihak lain untuk selanjutnya mampu membimbing dirinya sendiri (Hery Noer Ali, 1999:1). Masalah-masalah sosial diharapkan dapat diatasi dengan mendidik generasi muda untuk mencegah penyakit-penyakit sosial seperti kejahatan, pengrusakan lingkungan, narkotika, pergaulan bebas dan sebagainya (Nasution,1999:16).
Sebagai metode yang masih baru, Quantum Teaching merupakan sesuatu yang baru dan asing bagi kebanyakan sekolah yang ada di Indonesia, sehingga masih jarang sekolah-sekolah yang menerapkan metode ini dalam melaksanakan pembelajaran. Melihat latar belakang diatas maka penulis mengadakan penelitian yang dilaksanakan di MTs Negeri Mojorejo-Wates-Blitar sebagai obyek penelitian karena MTs Negeri Mojorejo sebagai MTs Negeri favorit dan satu-satunya MTs dikecamatan Wates kabupaten Blitar yang sekaligus menerapkan Quantum Teaching dalam pembelajaran Aqidah-Akhlaq.
Dari paparan diatas maka penulis mengangkat masalah tersebut sebagai bahan penulisan skripsi yang berjudul "PENGEMBANGAN METODE PEMBELAJARAN AQIDAH-AKHLAQ (Studi Tentang Aplikasi Quantum Teaching di MTs Negeri Mojorejo-Wates).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar