BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Undang-undang Nomor 22 dan 25 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, yang berlaku mulai tahun 2001, berusaha menyerahkan sebagian berkas wewenang kepada daerah propinsi dan kabupaten/kota secara luas, termasuk dalam bidang pendidikan. Dalam konteks pendidikan, pemerintah kabupaten kota memiliki tanggung jawab untuk mengembangkan, melaksanakan, dan mengendalikan program dan kegiatan pendidikan dalam kerangka kebijakan nasional. Sedangkan pemerintah pusat bertangung jawab dalam pengembangan kebijakan dan rencana strategis, pengawasan kualitas, dan koordinasi perencanaan, program pendidikan pada tingkat nasional. Melakukan kebijakan tersebut, diharapkan tumbuhnya prakarsa, partisipasi, inovasi, dan kreatifitas dari bawah, baik dari peserta didik, guru, sekolah/madrasah maupun masyarakat di daerah, dan layanan di bidang pendidikan diharapkan dapat lebih memenuhi kebutuhan, lebih cepat, efisien dan efektif, serta diharapkan munculnya berbagai variasi model pengembangan pendidikan di sekolah-sekolah/madrasah, selaras dengan kondisi dan konteks daerah-daerah yang ada di nusantara.
Namun pada kenyataannya, penerapan kebijakan tersebut tidaklah semudah yang dibayangkan, apalagi mereka sudah begitu lama terbiasa dengan sikap ketergantungan terhadap birokrasi, dan dikendalikan berbagai peraturan yang ditentukan dari atas, misalnya dalam hal manajemen pengembangan kurikulum, tenaga kependidikan, sarana, buku-buku pelajaran, pembiayaan, dan sumber-sumber lainnya. Karena itu reformasi kebijakan tersebut menuntut adanya perubahan sikap dan perilaku dari pihak terkait guna mendukung tumbuhnya prakarsa, inovasi, dan kreatifitas dalam pengembangan madrasah.[1]
Dalam konteks otonomi daerah, saat ini sedang dikembangkan Manajemen Berbasis Sekolah, yakni pengkoordinasian dan penyerasian sumber daya yang dilakukan secara mandiri oleh sekolah yang melibatkan semua kelompok yang terkait dengan masalah (stakeholders) secara langsung dalam kerangka kebijakan pendidikan nasional. Karena masalah otonomi daerah sedang menjadi trend dalam berbagai bidang kehidupan di negeri ini, dan sesuai dengan tuntutan masyarakat dan berkembangnya peraturan baru, maka formula baru pengelolaan pendidikan itu merupakan suatu upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan, efisiensi, dan pemerataan.
Untuk merealisasikan Manajemen Berbasis Sekolah, maka perlu didukung oleh pengembangan masyarakat di sekolah tersebut. Sebagaimana dikemukakan bahwa masyarakat sekolah mengandung arti semua warga sekolah yang selalu berusaha:(1) mengejar dan mengembangkan kepandaian atau keahlian secara terus menerus sesuai dengan bidang/tugasnya; (2) komitmen terhadap kualitas; (3) memiliki dan mengembangkan rasa tanggung jawab moral, sosial, intelaktual, dan spiritual; serta (4) memiliki dan mengembangkan rasa kesejawatan atau team work yang cerdas, dinamis, dan kompak.[2]
Tujuan utama penerapan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) adalah meningkatkan efisiensi pengelolaan serta mutu dan relevansi pendidikan di sekolah. Sekolah merupakan unit utama yang harus memecahkan permasalahannya melalui sejumlah keputusan yang dibuat “sedekat” mungkin dengan kebutuhan sekolah. Untuk itu, sekolah harus memiliki kewenangan (otonomi), tidak saja dalam pengambilan keputusan, akan tetapi justru dalam mengatur dan mengurus kepentingan sekolah menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi warga sekolah sesuai dengan payung kebijakan makro pendidikan nasional.[3]
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) adalah upaya serius yang rumit, yang memunculkan berbagai isu kebijakan dan melibatkan banyak lini kewenangan dan pengambilan keputusan serta tanggung jawab dana akuntabilitas atas konsekwensi keputusan yang diambil. Oleh sebab itu, semua pihak yang terlibat perlu memahami benar pengertian MBS, manfaat, masalah-masalah dalam penerapannya, dan yang terpenting adalah pengaruhnya terhadap prestasi belajar murid.
Para pendukung Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) berpendapat bahwa prestasi belajar murid-murid lebih mungkin meningkat jika manajemen pendidikan dipusatkan di sekolah dibandingkan pada tingkat daerah. Para kepala sekolah cenderung lebih peka dan sangat mengetahui kebutuhan murid dan sekolahnya dibandingkan para birokrat di tingkat pusat daerah. Lebih lanjut dinyatakan bahwa reformasi pendidikan yang bagus sekalipun tidak akan berhasil jika para guru yang harus menerapkannya tidak berperan serta merencanakannya.
SMP Negeri 13 Malang yang terletak di jalan Sunan Ampel II Malang merupakan salah satu sekolah menengah pertama yang telah mengembangkan pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah. SMP Negeri 13 Malang juga berkeinginan untuk dapat memacu dan mendukung proses dilakukannya terobosan-terobosan yang pasti akan diperlukan dengan semakin besarnya kemungkinan direalisasikannya otonomi pendidikan. Dengan pengaturan manajemen sekolah yang semakin baik, SMP Negeri 13 Malang berusaha merealisasikan implementasi Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang diharapkan dapat memacu kreatifitas guru yang kemudian berimbas kepada peningkatan prestasi belajar siswa.
Berdasarkan uraian diatas, peneliti merasa tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul “IMPLEMENTASI MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH (MBS) DALAM MENINGKATKAN PRESTASI BELAJAR SISWA DI SMP
Tidak ada komentar:
Posting Komentar